top of page
Writer's pictureSA

PDIP DKI Kritik Rencana Revisi Berbagai UU, Gilbert Simanjuntak: Ini Ciri Awal Pemerintahan Otoriter

DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta mengkritik langkah Pemerintah Indonesia dan DPR RI yang dinilai terlalu berambisi merevisi Undang-Undang demi kepentingan kelompok tertentu.


Bahkan di akhir masa jabatan Presiden Jokowi ke Presiden terpilih Prabowo Subianto pada Oktober 2024 mendatang, pemerintah kembali ingin mengubah regulasi setelah merevisi batas usia Capres-Cawapres di UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.


Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah (Badiklatda) DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, Prof Gilbert Simanjuntak mengatakan, pemerintah pusat seakan tidak puas mengubah-ubah regulasi sesuai keinginan mereka.



Dia mencatat, ada beberapa UU yang akan diubah untuk kepentingan pemerintahan RI selanjutnya. Pertama UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kedua, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, ketiga UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan keempat UU Polri serta UU TNI.


Prof Gilbert mengatakan, harusnya revisi UU dilakukan untuk kepentingan publik, bukan kepentingan politik rezim.


Dia khawatir, banyaknya perubahan payung hukum di lembaga tertentu justru akan menjadi alat untuk melumasi kekuasaan.

“Mengubah banyak UU sebelum berkuasa dengan cara yang tidak umum, adalah ciri awal otoritarian di negara otoriter,” ujar Prof Gilbert saat dikonfirmasi pada Rabu (22/5/2024).

Menurut dia, saat ini beberapa UU yang mendasar untuk pembagian kekuasaan sudah mulai dikutak katik sebelum mulai bekerja, seperti UU Kementerian Negara. Kata dia kesan yang timbul dari pemerintahan yang akan datang adalah nafsu berkuasa partai politik yang mengacuhkan amanah dari rakyat.

“Kondisi ini sepatutnya menimbulkan alarm kewaspadaan pada masyarakat madani, karena seakan kembali ke kondisi sebelum reformasi 1998 yang banyak membutuhkan pengorbanan masyarakat,” katanya.

Prof Gilbert menilai, perlu penyeimbang yang kokoh, tahan uji dan tabah dari partai politik di luar pemerintahan bersama-sama dengan pilar keempat demokrasi, media massa.


Hal ini akan menjaga pemerintahan tidak melenceng akibat terbelenggunya partai politik dan dikooptasi penguasa.

“Melindungi demokrasi tidak hanya memerlukan rasa takut dan marah, tetapi juga perlu berani dan rendah hati,” ucap anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta ini.

Dia memandang diperlukan kedewasaan dalam melihat partai politik lawannya sebagai rival yang sah dalam demokrasi. Terutama, lanjut dia, kedewasaan berdemokrasi oleh politikus untuk tidak menggunakan kesempatan yang sesaat demi kepentingannya.

“Karena itu, kemenangan Pemilu seharusnya digunakan untuk memperbaiki kekurangan pemerintahan yang lama menjadi lebih baik, bukan menonjolkan nafsu berkuasa yang tertahan lama,” tuturnya.

Dia menambahkan, selama Perang Dingin, tiga dari empat kehancuran demokrasi karena kudeta militer. Di situ demokrasi hancur karena kekuatan militer dan pemaksaan.

“Walau kurang dramatis tetapi sama destruktifnya, demokrasi hancur di tangan pemimpin yang terpilih secara demokratis. Ini bisa kita lihat pada Hitler, Chavez, Maduro (pengganti Chavez), dan kasus di negara Georgia, Hungaria, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Turki dan Ukraina,” ungkap dia.

“Demokrasi mereka hancur dimulai dari kotak suara. Cara mereka menjadi otoriter melalui pengadilan dan badan lainnya yang seharusnya netral/penjaga. Mereka memulai kehancuran dengan cara merubah aturan,” sambungnya.






Comments


bottom of page